Mantan Ketua MK Menyarankan Presiden Jokowi Berhentikan Moeldoko


Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Dr Jimly Asshiddiqie menyarakan Presiden Joko Widodo memberhentikan Kepala Staf Presiden (KSP) Muldoko. Foto: istimewa

Intipmedia.com, Jakarta – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Jimly Asshiddiqie mengatakan Presiden Joko Widodo sebaiknya memecat Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko. Langkah tersebut agar tidak menimbulkan citra buruk. Sebab, seorang KSP mestinya melayani presiden dan bukannya mengurusi partai.

Sebelumnya, ada tudingan Partai Demokrat soal adanya gerakan politik yang melibatkan pejabat di lingkaran Presiden Joko Widodo dan ingin merebut kekuasaan pimpinan Demokrat secara inkonstitusional.

Sementara itu, dalam rilisnya, Denny Indrayana mengatakan cawe-cawe politik paling nyata Jokowi terlihat dari dugaan pengambilalihan atau ‘pencopetan’ Partai Demokrat oleh Moeldoko.
“Saya pernah menyarankan sebaiknya Moeldoko diberhentikan dari KSP supaya tidak menimbulkan citra buruk,” lanjutnya.

Jika Jokowi pecat Moeldoko maka tidak akan ada anggapan presiden membiarkan dan melakukan penekanan terhadap Partai Demokrat.

Soal cawe-cawe Jokowi, Jimly mengatakan tidak masalah. Ia mencontohkan Barack Obama mendukung Hilary Clinton dalam pemilihan presiden Amerika Serikat. Jimly mengatakan tidak ada larangan jika Presiden Joko Widodo cawe-cawe untuk memilih penggantinya. Namun, menurutnya ini bukanlah tanggung jawab seorang presiden. Apalagi budaya feodal masih begitu kuat di negara kita.

Denny Indrayana merasa setuju dengan pendapat Jimly, bahwa Jokowi harusnya tidak membiarkan Moeldoko membegal Demokrat.

“Saya setuju dengan pendapat Prof. Jimly ini bahwa, dibiarkannya KSP Moeldoko membajak Partai Demokrat harusnya bisa menjadi pintu masuk pemakzulan (impeachment) Presiden Jokowi,” ujarnya dalam akun twitter pribadinya, Minggu (4/6).

“Secara hukum, jika kondisi normal, DPR harus mengajukan hak angket untuk menyelidiki apakah Presiden Jokowi memberikan persetujuan atas langkah pembajakan politik yang dilakukan KSP Moeldoko tersebut,” lanjutnya.

“Jika terbukti memang ada persetujuan Presiden Jokowi, maka proses pemakzulan berlanjut ke MK. Jika tidak terbukti, tentu proses harus berhenti,” tukasnya.(red)

Berita Terkait

Top