“Jadi sebenarnya kalau konsep gaji PNS cukup ya cukup. Kurang karena banyak kreditan. Memang lembaga kredit ini meracuni kita, gagal lewat kita lewat istri kita, gagal lewat istri kita lewat HP anak kita,” ujarnya di Closing Ceremony ASN Culture Fest 2023 di The Westin Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Perencana Keuangan, Philip Mulyana memberikan penilaian perihal kondisi yang melanda yang memungkinkan para ASN nekat berutang. Hal pertama didorong pemikiran terkait rutinitas gaji. “(Para ASN berani berutang) karena merasa aman, mereka yakin akhir bulan gajian,” ujar Philip kepada merdeka.com, Kamis (26/1).
Namun, di samping alasan stabilitas pendapatan, faktor ASN terjerat utang menurut Philip adalah minimnya literasi keuangan. Dan kondisi ini juga berlaku bagi sebagian masyarakat Indonesia.
Dengan kondisi minimnya literasi keuangan, ditambah kebiasaan konsumtif masyarakat semakin menjerumuskan ASN yang tergolong memiliki pendapatan tinggi, tetap terjerat utang.
Philip menjelaskan, literasi keuangan berarti seseorang memahami cara mengelola keuangan dengan baik, cara berinvestasi sesuai dengan profil risiko individu, cara memilih asuransi, dan lain-lain. Namun yang disayangkan, pengetahuan dasar ini hampir tidak disampaikan dalam pendidikan formal.
“Sejak kita sekolah, kita tidak pernah diajari untuk bagaimana mengelola keuangan kita. Padahal kita tau sendiri Indonesia memiliki level inflasi yang tinggi. Ini artinya barang-barang akan semakin mahal,” ujarnya.
“Barang yang semakin mahal ditambah kemudahan kita berbelanja ditambah literasi keuangan yang minim akan membuat kita bisaterjerumus dalam masalah keuangan, salah satunya adalah utang,” tandasnya.
Survei OJK
Di satu sisi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2022 melakukan survei tentang inklusi keuangan dan literasi keuangan, hasilnya 85,10 persen masyarakat telah mendapatkan akses keuangan (inklusi keuangan) dan indeks literasi keuangan berhasil tembus 49,68 persen.
Sementara pada survei tahun 2019, OJK mencatat tingkat literasi dan inklusi keuangan nasional masih memiliki gap yang besar. Inklusi keuangan memang sudah mencapai 76,19 persen, namun literasi keuangan baru sekitar 38,03 persen.
Adanya peningkatan persentase terhadap inklusi dan literasi keuangan sejak 2019 hingga 2022, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar berharap kondisi seperti ini mampu menjadi acuan bagi OJK dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyusun strategi dan merancang produk ataupun layanan keuangan sesuai kebutuhan konsumen. (Red)