Penyidikan Perkara CLM, Idrus Marham Penuhi Panggilan KPK
Politikus Partai Golkar Idrus Marham (tengah) menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (31/1/2024).
Intipmedia.com, Jakarta – Politikus Partai Golkar yang juga mantan Menteri Sosial Idrus Marham mengaku ditanya soal posisinya di PT Citra Lampia Mandiri (CLM) saat memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
Idrus saat dijumpai di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu, menjelaskan bahwa dirinya memang pernah menjadi Komisaris PT CLM, namun jabatan itu hanya diembannya selama satu hari.
“Saya ditanya soal posisi saya pernah menjadi Komisaris CLM satu hari. Jadi, saya tanggal 4 Juli 2022 diangkat dalam RUPS (rapat umum pemegang saham) luar biasa, tetapi tanggal 5 (Juli 2022) saya sudah mengundurkan diri. Jadi, itu dikonfirmasi dan yang lain-lainlah, saya kira itu saja,” ucap Idrus.
Idrus Marham dipanggil penyidik KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi dari pihak swasta dalam perkara dugaan korupsi suap pengurusan administrasi hukum umum di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Pemanggilan Idrus Marham semula dijadwalkan KPK pada Selasa (30/1), tetapi dia baru memenuhi panggilan tersebut pada Rabu ini.
Kepada wartawan, Idrus menjelaskan bahwa dirinya diminta menjadi komisaris dalam RUPS luar biasa, kemudian dia mundur dari posisi komisaris PT CLM karena merasa jabatan itu bukan bidangnya.
“Kalau itu kan saya merasa bukan bidang saya, yang mengurusi masalah itu, sehingga akan lebih bagus (mengundurkan diri), kalau pun ada yang mau dibantu tanpa komisaris pun bisa,” ucap Idrus.
Kendati baru sehari menjadi komisaris, Idrus Marham mengaku pernah mendengar soal permasalahan internal di perusahaan tersebut.
“Ya pastilah saya tahu ada masalahnya, waktu itu saya sarankan supaya diselesaikan dengan baik secara kekeluargaan. Kalau di dalam proses hukum ada namanya restorative justice (keadilan restoratif, red), itu saran saya dulu,” ujarnya.
Dalam perkara ini, penyidik KPK pada 7 Desember 2023 telah menahan Direktur Utama PT CLM Helmut Hermawan (HH).
Selain itu, KPK juga telah menetapkan tiga tersangka lainnya, yakni mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej (EOSH), pengacara Yosi Andika Mulyadi (YAM), dan asisten pribadi EOSH, Yogi Arie Rukmana (YAR).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan konstruksi dugaan korupsi tersebut berawal dari terjadinya sengketa dan perselisihan internal di PT CLM dari tahun 2019 hingga 2022 mengenai status kepemilikan.
Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, HH selaku Direktur Utama PT CLM berinisiatif mencari konsultan hukum dan sesuai rekomendasi yang diperoleh yang tepat adalah EOSH.
Sebagai tindak lanjut atas hal tersebut, sekitar April 2022 dilakukan pertemuan di rumah dinas EOSH yang dihadiri HH bersama staf dan PT CLM. Hasil pertemuan tersebut dicapai kesepakatan, yaitu EOSH siap memberikan konsultasi hukum untuk pengurusan administrasi hukum umum PT CLM.
EOSH lantas menugaskan YAR dan YAM sebagai representasi dirinya. Besaran uang yang disepakati untuk diberikan HH kepada EOSH sejumlah Rp4 miliar.
Selain itu, HH juga mengalami permasalahan hukum di Bareskrim Polri. Untuk itu, EOSH bersedia dan menjanjikan proses hukumnya dapat dihentikan melalui SP3 dengan adanya penyerahan uang sejumlah Rp3 miliar.
HH juga meminta bantuan EOSH selaku Wamenkumham pada saat itu untuk membantu proses buka blokir hasil RUPS PT CLM. Atas kewenangan EOSH, proses buka blokir akhirnya terlaksana.
Berikutnya, HH kembali memberikan uang sejumlah sekitar Rp1 miliar untuk keperluan pribadi EOSH maju dalam pencalonan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti).
KPK menjadikan pemberian yang sejumlah sekitar Rp8 miliar dari HH pada EOSH melalui YAR dan YAM sebagai bukti awal untuk terus ditelusuri dan didalami hingga dikembangkan.
HH sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(red)